“Rakyat jangan diintimidasi seperti dulu lagi. Jangan biarkan kecurangan pemilu yang sudah mulai terlihat akhir-akhir ini terjadi lagi,” kata Megawati Soekarnoputri pada Minggu (12/11). Seruan yang dikeluarkan oleh Ketua Umum PDIP itu jelas menyindir Presiden Joko Widodo, politisi hebat yang telah ia angkat dan sekarang berpisah dengannya.
Akhirnya, Megawati membuat pernyataan melalui video yang diunggah di akun YouTube PDIP setelah beberapa waktu tidak mengomentari perkembangan politik yang sangat dinamis yang membuat sebagian orang terkejut. Ia tidak merahasiakan ketidaksetujuannya terhadap Jokowi, muridnya yang sekarang menjadi musuh.
Dalam pidatonya, Megawati menekankan putusan Mahkamah Konstitusi yang akhirnya memilih Gibran Rakabuming Raka, putra sulung Jokowi, sebagai cawapres Prabowo Subianto.
Kita semua menyadari bahwa berbagai manipulasi hukum kembali terjadi karena apa yang terjadi di Mahkamah Konstitusi akhir-akhir ini. Megawati menyatakan bahwa ini adalah hasil dari praktik kekuasaan yang telah mengabaikan kebenaran politik atas dasar moral.
Pidato Megawati mirip dengan pengumuman perang. Sekarang ketua umum partai terbesar di Indonesia itu menghadapi kader terbaiknya.
Beberapa anggota PDIP sudah mulai menyerang Jokowi sejak pernyataan “perang” Megawati. Segera setelah pidato itu, terjadi perdebatan yang sangat sengit antara PDIP dan kelompok Prabowo, yang dianggap mendapatkan dukungan dari Jokowi.
Keributan antara kedua belah pihak sering terjadi sebelum pidato Megawati. Salah satu contohnya adalah Ketua DPC PDIP Solo FX Hadi Rudyatmo, yang mengeluh tentang beberapa petugas polisi berseragam lengkap yang melakukan patroli di Kantor DPC PDIP pada 8 November. Rudy menganggapnya tidak wajar. Karena ia tidak menerima arahan apa pun dari Kapolresta Solo mengenai penjagaan tersebut.
Rudy berpendapat bahwa patroli polisi di depan kantor PDIP dapat menyebabkan opini yang tidak jelas di masyarakat tentang kemungkinan intervensi pemerintah jelang pemilihan presiden.
Saya harus memberi tahu pengurus partai tingkat atas (DPP PDIP) jika ada perlakuan seperti ini. Apa artinya? Menurutnya, Kapolresta tidak memberikan arahan apa pun. Rudy berkata, “Saya tidak mau terpancing untuk mengerahkan massa.”
Menurut Kapolresta Solo Kombes Iwan Saktiadi, patroli dilakukan untuk menjaga keamanan dan ketertiban di DPC PDIP dan kantor partai lain, serta Bawaslu dan KPU, lembaga yang terkait langsung dengan pemilu.
Kami tegaskan bahwa Polri bersikap netral. Tidak ada indikasi intimidasi dari anggota yang berkomunikasi. Iwan meminta maaf jika dianggap subjektif.
Gerindra menyindir keluhan Rudy sepekan kemudian, 15 November. Di tengah rapat kerja Komisi III dengan Polri, anggota parlemen Gerindra Wihadi Wiyanto menyatakan bahwa ada upaya untuk menjadi korban dengan kehadiran polisi di kantor partai.
Dia menyatakan, “Kita harus jaga Polri. Jangan Polri dibuat seakan-akan ada orang yang berperan sebagai pelaku. Seperti kejadian di Solo itu, jangan-jangan juga berperan sebagai pelaku.”
Hashim mengapresiasi sikap tegas Gibran dalam menangani masalah gereja Solo yang ditutup. Dia bilang Gibran berani membuka segel gereja itu sehingga dapat digunakan kembali untuk beribadah. Selain itu, Hashim mengkritik Wali Kota Bekasi yang gagal menyelesaikan masalah serupa.
Gereja HKBP Filadelfia di Bekasi ditutup. Wali kotanya? Hashim menyatakan bahwa Pak Mochtar Muhammad adalah wali kota dari PDIP.
Ucapan adik Prabowo belum direspons oleh PDIP sejauh ini. Tim Pemenangan Nasional (TPN) Ganjar-Mahfud lebih menekankan upaya aparat selama pemilu. Misalnya, saat ia menjabat sebagai KSAD pada Pilpres 2019, Wakil Ketua TPN Ganjar-Mahfud, Jenderal (Purn) Andika Perkasa, menyatakan bahwa ada tekanan dari sejumlah pihak untuk memenangkan calon tertentu.
Kita hanya perlu memilih apakah akan ditekan atau tidak. Andika menegaskan bahwa, meskipun ada tekanan yang cukup besar pada 2019, dia tidak memberikan perintah apa pun untuk memenangkan salah satu calon, tanpa menyebut siapa pihak yang mendukungnya.
Menurut Ari Junaedi, seorang doktor komunikasi politik yang pernah bergabung dengan Tim Kampanye Nasional Jokowi-Ma’ruf pada Pilpres 2019, penggunaan aparatur negara untuk memenangkan pemilu bukan sesuatu yang baru.
Karena saya pernah menjabat sebagai Wakil Direktur Komunikasi dan Informasi di TKN Jokowi, saya sangat memahami bagaimana alat-alat itu digunakan. Ari mengungkapkan beberapa waktu lalu kepada kumparan bahwa pada masa lalu (Pilpres 2019) juga mereka “digarap” penuh oleh Pak Jokowi.
Dalam hal aparat, Juru Bicara TPN Ganjar-Mahfud Aiman Witjaksono mengungkapkan dalam video yang diunggahnya di akun Instagram pribadinya pada hari Jumat (10/11) bahwa ada anggota personel polisi yang diminta komandannya untuk membantu memenangkan Prabowo-Gibran.
Aliansi Elemen Masyarakat Sipil untuk Demokrasi melaporkan Aiman ke Polda Metro Jaya atas pernyataannya. Dia dituduh berbicara tanpa sumber yang jelas.
Dia terus berpikir, “Ini juga aneh, karena saya hanya menyebutkan oknum, dugaan oknum polisi.” Saya telah dibicarakan tentang masalah ini oleh banyak orang di luar sana; namun, mengapa hanya saya yang disebutkan?”
Sejak 13 November, PMJ telah menerima enam laporan terkait anggota TPN Ganjar-Mahfud, termasuk Aiman dari kubu Ganjar. Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto dan politisi PDIP Adian Napitupulu juga telah dilaporkan ke Polda Metro Jaya.
Baik Hasto maupun Adian dilaporkan atas tuduhan pencemaran nama baik Presiden Jokowi. Dianggap sebagai TPN, laporan-laporan ini merupakan ancaman bagi pihak-pihak yang berusaha menyuarakan netralitas aparat dalam pemilu, termasuk mereka sendiri.
Jubir TPN Chico Hakim menyatakan, “Ini semacam upaya untuk menakut-nakuti publik yang ingin menyuarakan kecurangan atau ketidaknetralan aparat.”
TPN mengklaim bahwa kemungkinan ancaman terhadap mereka akan meningkat seiring waktu, terutama selama masa kampanye. Untuk saat ini, mereka telah mendirikan pos pengawasan di setiap daerah untuk memantau kemungkinan kecurangan pemilu.
Kami berharap masyarakat tidak takut dengan tindakan represif atau intimidasi. Chico menyatakan bahwa ini merupakan bagian dari upaya kami untuk meningkatkan demokrasi Indonesia.
Gerindra, di sisi lain, berpendapat bahwa kisah aparat tak netral ini terus-menerus digaungkan oleh pihak yang merasa kepentingannya terganggu.
Prof. Firman Noor, peneliti dari Pusat Riset Politik BRIN, mengatakan bahwa berbagai bagian masyarakat sipil, mulai dari aktivis hingga budayawan, merasa prihatin. PDIP langsung memanfaatkan situasi ini, dan saat ini mereka tidak lagi berkolaborasi dengan Jokowi.
Di atas kertas, PDIP tetap menjadi partai yang dominan, tetapi kemudian malah berkembang menjadi kekuatan yang sekarang menentang pemerintah. Karena Jokowi tidak lagi berada di “kandang banteng”, mereka mengubah pandangan mereka.
Firman menyatakan, “Serangan-serangan yang dilancarkan PDIP, selain terkait kepentingan moral, juga terkait konteks pertarungan elektoral, khususnya pilpres.”
Ia percaya bahwa PDIP akan menciptakan musuh bersama. Pada awalnya, hanya kubu Anies-Muhaimin (AMIN) yang merasakan gangguan tersebut. Misalnya, mereka gagal mengadakan acara umum beberapa kali, seperti yang terjadi di Bandung dan Bekasi.
Namun, kelompok Ganjar-Mahfud menghadapi tantangan yang sama sejak Gibran menjabat sebagai cawapres Prabowo. Salah satu contohnya adalah pencopotan baliho di Bali menjelang kunjungan presiden.
Sebelum kedatangan Ganjar, juga terjadi pembongkaran baliho dan alat peraga kampanye PDIP di Yogya. Pembongkaran ini memicu demonstrasi dari Aliansi Relawan Ganjar-Mahfud ke Satpol PP, yang menyebabkan kubu Ganjar mulai mengalami gangguan berulang.
Firman mengatakan, “Kalau kemudian keduanya (kubu Anies dan Ganjar) menjadi korban, kan bisa muncul musuh bersama.” Dan kesepakatan politik mungkin terjadi jika komunikasi berlanjut.
Namun, serangan ofensif dan upaya menciptakan musuh bersama ini mungkin menguntungkan PDIP karena seringkali pihak yang terus diserang justru memenangi pemilu. Ini seperti Jokowi, yang disebut sebagai keturunan anti-Islam dan keturunan PKI pada dua pemilu sebelumnya, tetapi tetap menang.
Hasan Nasbi, konsultan politik dan pendiri Cyrus Network, menyatakan, “Belajar dari 2014-2019, yang menang itu yang mendapat serangan ofensif.”
Sebaliknya, PDIP menyatakan bahwa mereka tidak akan menggunakan metode penipuan untuk memenangkan pemilu.
Petugas partai kami menjadi lebih semangat seiring mereka mengalami tekanan dan kecurangan. “Kami akan bertindak sesuai dengan koridor demokrasi,” kata Chico.