Salam, kehidupan pernikahan seringkali dipenuhi dengan kesulitan; salah satu perjalanan yang paling emosional adalah saat mereka menghadapi masalah kehamilan. Pasangan yang menghadapi masalah untuk memiliki keturunan seringkali merasa terisolasi.
Namun, ada kekuatan dan semangat yang menginspirasi di balik kisah yang sedih dan berat ini. Setidaknya, Meutya Hafid, penulis buku “LYORA: Keajaiban yang Dinanti”, baru saja merilis buku terbarunya. Setelah sepuluh kali percobaan bayi tabung, ia mengandung putrinya, Lyora, dalam buku ini.
Meutya dengan jujur menceritakan kesulitan yang dihadapinya bersama suaminya, Noer Fajrieansyah, dalam bukunya. Ia juga membagikan keputusasaan yang mengiringi setiap upaya bayi tabung yang tidak berhasil.
Sebagai pejuang dua garis biru, ia juga menyampaikan pesan penting bahwa setiap pasangan berhak atas dukungan dan perawatan medis yang memadai karena infertilitas adalah masalah kesehatan yang serius.
Meutya menyatakan bahwa pemerintah seharusnya hadir untuk mendukung pengobatan infertilitas karena infertilitas telah diakui oleh WHO sebagai penyakit dan hak reproduksi setiap warga negara. Namun, hingga saat ini, masalah kesuburan atau fertilitas belum termasuk dalam kategori masalah kesehatan yang ditanggung atau dibantu oleh pemerintah.
Dr. Ivan R. Sini, GDRM MMIS FRANZCOG Sp.OG dan CEO Morula IVF Indonesia, mengatakan bahwa saat ini ada 4,8 juta wanita yang menghadapi masalah infertilitas.
Meutya menekankan betapa pentingnya mendapatkan pengakuan resmi terhadap infertilitas sebagai penyakit dalam konteks ini. Akibat pengakuan ini, diharapkan pasangan infertil akan mendapatkan lebih banyak perhatian dan pemahaman.
Hak asasi manusia seperti kesehatan reproduksi harus dilindungi oleh negara, kata Meutya. Ia percaya bahwa pasangan yang mengalami kesulitan untuk memiliki anak memiliki hak yang sama untuk mendapatkan perawatan medis dan bantuan dari pemerintah.
“Saat saya menjalani program bayi tabung IVF pada saat saya berumur 37 tahun, saya sempat mengalami 3 kali hamil, tetapi keguguran dikarenakan janin dan embrio tidak berkembang dengan baik. Alhamdulillah, pada usia 44 tahun, saya berhasil hamil dan dikarunia putri bernama Lyora Shaqueena Ansyah.”
Meutya menyatakan bahwa ada sejumlah alasan mengapa pengakuan resmi infertilitas sebagai penyakit ini sangat penting.
- Mendapatkan perawatan medis yang tepat
Mengakui infertilitas sebagai penyakit akan memungkinkan akses yang lebih baik ke perawatan medis. Pengakuan ini akan memastikan bahwa layanan kesehatan yang diperlukan, seperti diagnosis, pengobatan, dan perawatan reproduksi, tersedia dan mudah diakses.
- Meningkatkan dukungan mental
Infertilitas dapat berdampak emosional yang signifikan pada orang dan pasangannya. Pengakuan resmi penyakit infertilitas dapat mengurangi stigma sosial dan dukungan psikologis bagi mereka yang mengalaminya. Ini dapat mencakup akses ke dukungan kelompok, konseling, dan sumber daya lainnya yang dapat membantu pasangan menghadapi kesulitan psikologis yang terkait dengan ketidaksuburan.
- Perlindungan hak dan kewajiban individu
Pengakuan resmi infertilitas sebagai penyakit dapat memberikan perlindungan hukum dan hak-hak bagi orang-orang yang mengalami kesuburan.
Ini dapat mencakup hak untuk mendapatkan perawatan medis yang tepat, perlindungan dari diskriminasi di tempat kerja atau dalam asuransi kesehatan, dan akses ke teknologi reproduksi seperti In Vitro Fertilization (IVF).
- Peningkatan pengetahuan dan kesadaran
Pengakuan resmi penyakit infertilitas dapat meningkatkan kesadaran dan pemahaman masyarakat tentang kesuburan. Ini dapat menurunkan stigma dan kesalahpahaman tentang infertilitas serta meningkatkan pemahaman tentang perawatan dan dukungan yang tersedia bagi mereka yang mengalami kesuburan.
Buku “LYORA: Keajaiban yang Dinanti” tidak hanya memberikan inspirasi dan harapan kepada pasangan yang menghadapi kesulitan mendapatkan keturunan, tetapi juga menunjukkan betapa pentingnya perubahan dalam cara masyarakat dan pemerintah melihat infertilitas. Meutya Hafid berusaha untuk mengubah stigma dan sikap negatif yang sering dikaitkan dengan infertilitas melalui bukunya.
Ia berharap perubahan sosial yang lebih luas memahami dan mendukung pasangan yang sulit mendapatkan keturunan. Selain itu, Meutya meminta semua pihak untuk bekerja sama untuk memperjuangkan hak-hak pasangan yang mengalami kesulitan untuk memperoleh keturunan.
Diharapkan pemerintah akan lebih aktif dalam menyediakan perawatan infertilitas dan mengakui hak asasi manusia atas kesehatan reproduksi. Meutya berharap bukunya dapat memberikan inspirasi dan memberikan pemahaman yang lebih baik tentang perjuangan pasangan di Indonesia untuk memiliki anak.