Burhanuddin Menjelaskan Alasan Kemenangan Prabowo Meskipun Ada Persoalan Dinasti Politik

Selama pemilihan presiden, elektabilitas Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka masih tinggi, menurut Burhanuddin Muhtadi, Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia. Menurut Burhanuddin, Prabowo dan Gibran menjadi perhatian karena masalah dinasti politik.

Dokter ilmu politik dari Universitas Nasional Australia (ANU) mengatakan elektabilitas Prabowo dipengaruhi oleh masalah dinasti politik tak mempan karena perubahan dalam kultur politik Indonesia. Ia menyatakan bahwa masalah dinasti politik dalam konteks perpolitikan Indonesia telah normalisasi, seperti halnya praktik politik uang.

Pada diskusi Habibie Democracy Forum bertajuk Pemilu 2024 di Hotel Meridien Jakarta pada Rabu (15/11), Burhan mengatakan, “Jadi kalau ditanya, masyarakat tidak merasa khawatir saat calon bupati, gubernur, dan wali kota memiliki hubungan dengan petahana sepanjang kinerjanya baik.”

Burhan berpendapat bahwa normalisasi politik dinasti bermula dari kecenderungan pemilih Indonesia untuk mengultuskan tokoh tertentu. Ini kemudian menjadi hambatan tersendiri bagi kematangan demokrasi negara.

Hasil sigi Indikator “Efek Gibran dan Dinamika Elektoral Terkini”, yang dirilis pada awal November lalu, memperkuat asumsi ini. 1.220 individu berusia 17 hingga 60 tahun disurvei secara tatap muka dari 27 Oktober hingga 1 November 2023.

Survei tersebut memiliki toleransi kesalahan 2,9 persen dan tingkat kepercayaan 95 persen dengan metode pengambilan sampel acak multistage. Menurut Burhan, berdasarkan survei tersebut, persepsi publik tentang masalah dinasti politik tampaknya tidak banyak berubah setelah penutupan pendaftaran capres-cawapres di Komisi Pemilihan Umum (KPU). Warga mungkin sedikit lebih sabar atau tidak khawatir.

Survei terbaru yang dilakukan oleh Indikator Politik menunjukkan bahwa 52,6% responden menganggap politik dinasti tidak masalah selama proses pemilu secara langsung dilakukan oleh rakyat. Prabowo-Gibran memiliki elektabilitas yang lebih besar dari dua pasangan lain, dengan 43.2%. Pasangan Ganjar Pranowo dan Mahfud MD mendapatkan 31.8% suara, sedangkan Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar mendapatkan 19.4% suara.

Meskipun dipilih langsung oleh rakyat melalui pemilu, politik dinasti akan menghambat demokrasi Indonesia, menurut 36,3% responden survei. Meskipun pasangan Prabowo-Gibran masih unggul dengan 34.2%, Anies-Muhaimin 32.8%, dan Ganjar-Mahfud 28.8%, dukungan kelompok ini tampaknya lebih bersaing. Burhan menyatakan bahwa dinasti politik dan politik uang sama-sama mengalami normalisasi.

Dinas Politik dalam Pilkada

Menurut Dosen Ilmu Politik FISIP UIN Jakarta itu, praktik dinasti politik sering terjadi di tingkat satuan pemerintahan terendah, yaitu desa. Dia menyatakan bahwa hampir 80% kepala desa di Indonesia memiliki hubungan keluarga seperti anak, istri, keponakan, paman, dll.

Menurutnya, “Ini membuat saya sulit untuk mengelak dari rasa pesimis bahwa proses demokrasi ke depan masih berat, karena yang kita tantang bukan hanya elit politik yang liberal tetapi juga karakter pemilih kita.”

Hasilnya, Hasan Ansori, Direktur Eksekutif Habibie Center, mengatakan bahwa narasi politik dinasti dan perdebatan tentang putusan MK nomor 90 akan secara bertahap mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap pasangan Prabowo-Gibran. Saya percaya bahwa masalah itu akan mempengaruhi kepercayaan masyarakat dalam jangka panjang. Ansori menyatakan bahwa bukan saat ini karena pemilihan presiden masih di februari.

Dia berpendapat bahwa proses terpilihnya Gibran sebagai cawapres Prabowo melanggar semangat demokrasi dan akan secara bertahap mengurangi elektabilitas Prabowo-Gibran jika narasi kebenaran politik dinasti dan polemik putusan MK mulai dikenal oleh masyarakat.

Putusan MK nomor 90/PUU-XXI/2023 menjadi kontroversial karena mengubah persyaratan untuk calon presiden dari minimal empat puluh tahun menjadi minimal empat puluh tahun atau pernah atau sedang menjabat sebagai kepala daerah. Dengan keputusan itu, Gibran, wali kota Surakarta berusia 36 tahun, memiliki kesempatan untuk berpartisipasi dalam pemilihan presiden.

Hakim konstitusi yang memutus perkara itu kemudian disidang di Majelis Kehormatan MK karena dugaan pelanggaran etik. Ketua Mahkamah Konstitusi, Anwar Usman, paman Gibran, diputuskan melanggar etik berat karena turut memutus perkara yang melibatkan konflik kepentingan. Di sisi lain, delapan hakim lainnya diberi sanksi ringan berupa teguran karena telah melakukan pembiaran tentang dugaan penyebaran informasi rahasia tentang rapat majelis hakim.

 

Mungkin Anda Menyukai