Sekalipun mampu memenangkan perang dengan Hamas dan melakukan genosida di Gaza, Israel masih akan menghadapi ancaman dalam negeri yang tidak boleh dianggap enteng: Zionisme Ultra-Ortodoks. Bagi yang tidak mengenal kelompok ini, tanggapan mereka atas serangan kelompok pembebasan Hamas terhadap Israel pada 7 Oktober kemarin rada-rada aneh.
Mata mereka berbinar. Mereka sangat gembira. Dari sudut pandang mereka, peristiwa itu adalah bagian dari zaman Mesiah. Ini adalah bagian integral dari pemahaman mereka pada kiamat, Armagedon, Gog dan Magog, sebagai satu-satunya cara penebusan.
Bagi kaum Zionis Haredi, ini adalah sebuah fantasi ganda: kekuasaan penuh Yahudi atas seluruh wilayah mulai dari Laut Mediterania hingga Sungai Yordan, bersamaan dengan penghapusan eksistensi Arab dan munculnya negara halakhic (berdasarkan hukum Torat) dari sisa-sisa negara saat ini, negara Israel yang liberal.
Hal ini menegaskan pembicaraan tentang “Nakba Kedua” bagi warga Palestina, pemukiman kembali Gush Katif di Jalur Gaza bagian selatan, serta pengorganisasian kelompok pemukiman pada reruntuhan kibbutzim di perbatasan Gaza.
Fokus utama saat ini tentu saja perang. Ada konsensus luas di Israel mengenai perlunya menyerang Hamas dan mengakhiri kekuasaannya di Jalur Gaza. Perdebatannya adalah mengenai nuansa di balik rencana tersebut, misalnya pertanyaan tentang invasi darat, kebutuhan dan waktunya, korban penculikan dan prioritas lainnya.
Sikap terhadap korban sipil, hukum perang dan bantuan kemanusiaan. Bagi Zionis Haredi, perdebatan seperti itu hanya membuang-buang waktu saja. Gaza adalah Amalek yang harus dimusnahkan dari muka bumi.
Angkatan Pertahanan Israel (Israel Defense Forces/IDF) bukan pengecualian. Terdapat aliran Zionis Haredi yang mapan di dalam IDF. Komandan Divisi Lapis Baja ke-36, Brigjen. Jenderal David Bar Khalifa, baru-baru ini mengeluarkan arahan pertempuran yang ditulis tangan kepada pasukannya. Surat ini dimulai dengan kutipan dari Mazmur, “Seperti anak panah di tangan orang yang berkuasa.”
Lalu dia menulis, “Apa yang telah terjadi tidak akan ada lagi! Kita akan berperang di sana. Kita akan menghancurkan setiap bidang tanah yang terkutuk dari mana ia berasal. Kita akan menghancurkannya dan ingatannya. Kita tidak akan kembali sampai ia dimusnahkan, dan Tuhan akan membalas dendam musuh-musuh-Nya, dan melakukan penebusan atas tanah umat-Nya. … Tuhan akan memberikan kekuatan kepada umat-Nya, dan Dia akan menjaga keluar masuknya kamu, mulai sekarang dan selama-lamanya. Ini perang kita, hari ini giliran kita. Kami datang!”
Ini adalah teks keagamaan yang mencolok, cocok untuk para siswa Yeshivat Or Etzion, sebuah sekolah tinggi Torat tempat dia dulu belajar, namun bukan untuk seorang komandan divisi yang waras dan rasional dalam pasukan modern. Sulit membayangkan para mantan komandan Divisi Lapis Baja ke-36—Zvi Zamir, Uzi Narkiss, Rafael Eitan, Uri Sagi, Amram Mitzna, Avigdor Kahalani, Matan Vilnai, Amiram Levin dan Yitzhak Brik—mengeluarkan dokumen militer seperti ini.
Banyak kalangan Zionis Haredi, beberapa di antaranya pegawai negeri sipil, melihat krisis ini sebagai sebuah peluang dan bahkan rencana ilahi. Dalam sebuah sebuah konferensi keamanan yang diselenggarakan minggu ini, Yizhak Keshet, Walikota Harish, menjelaskan, “Ada gerakan ilahi di sini. Ini sangat jelas. Itu tidak terjadi begitu saja,” ujarnya sambil mengenakan rompi antipeluru.
Bagi Zionis Haredi, mereka yang tewas pada Festival Musik Supernova dan para korban di wilayah selatan Israel hanyalah pion dalam rencana ilahi untuk menyelesaikan misi tersebut—Tepi Barat. Itulah sebabnya Menteri Keuangan Bezalel Smotrich terus menyalurkan dana pemerintah kepada kelompok secara gila-gilaan sampai sekarang.
Itulah sebabnya para pemukim dan terkadang juga tentara Zionis Haredi melakukan kerusuhan di Tepi Barat tanpa hambatan, membunuh dan mengusir warga Palestina. Kelompok Zionis Haredi ini bertekad untuk mengobarkan perang di seluruh Tanah Suci.